Jumat, 24 Maret 2017

KETERBATASAN KEMAMPUAN



KETERBATASAN KEMAMPUAN

.     PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang dilahirkan paling sempurna. Manusia memiliki kemampuan kognitif untuk memproses informasi yang diperoleh dari lingkungan di sekelilingnya melalui indera yang dimilikinya, membuat persepsi terhadap apa-apa yang dilihat atau dirabanya, serta berfikir untuk memutuskan aksi apa yang hendak dilakukan untuk mengatasi keadaan yang dihadapinya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi kemampuan kognitif pada manusia meliputi tingkat intelejensi, kondisi fisik, serta kecepatan dalam memproses informasi pada manusia. Bila kecepatan sistem proses informasi terganggu, maka akan berpengaruh pada reaksi manusia dalam mengatasi berbagai kondisi yang dihadapi.[1][1] Manusia memiliki 5 alat indera yang memiliki fungsi yang berbeda, namun permasalahan yang akan kita bahas disini adalah keterbatasan indera manusia dalam mengaplikasikan fungsi masing-masing dan akibat dari keterbatasan indera manusia itu sendiri.
Keterbatasan indera yang terjadi bukanlah karena disengaja oleh setiap orang, tetapi itu semua adalah ketetapan tuhan yang bisa dijadikan pembelajaran atau pengetahuan yang bermanfaat. Keterbatasan indera manusia inilah yang membuat orang dapat memiliki berbagai pendapat dalam menjalankan kehidupan sehari-sehari. Dari semua materi yang akan kita bahas sangat berkaitan dengan kejadian di masyarakat. Akibat keterbatasan alat indera kita, maka  mungkin saja timbul salah informasi, salah tafsir atau salah pemikiran.[2][2] Mitos juga termasuk bagian dari penyebab keterbatasan indera manusia.




B.     DIMENSI PENGINDERAAN
Alat indera diantara manusia berbeda-beda dimensinya. Ada yang tajam penglihatannya, ada pula yang tidak. Ada yang tajam penciumannya, ada pula yang lemah.[3][3]
Pengalaman inderawi: pengalaman inderawi (sensori experience) tergantung dari sifat-sifat diterima rangsang sehingga kita mempunyai pengalaman inderawi yang dapat kita paparkan dalam suatu bentangan kuat-lemah, lama-sebentar, kasar-halus, panas-dingin, dan sebagainya. Bentangan sifat-sifat seperti itulah yang disebut dimensi penginderaan. Ada 4 dimensi penginderaan, yaitu:
1.        Intensitas: kuat-lemahnya penginderaan suatu rangsang tertentu. Kita dapat membedakan cahaya kuat dan lemah. Intensitas penginderaan kita jumpai pada semua indera.
2.        Ekstensitas: penghayatan terhadap tebal-tipis, luas-sempit, besar-kecil, dan lain-lain.
3.        Lamanya: penginderaan dapat berlangsung lama atau sebentar.
4.        Kualitas: kita dapat membedakan kualitas rangsang, misalnya nada atau sam beratnya mungkin tidak dapat kita warna.[4][4]
C.     ALAT- ALAT INDERA
Alat-alat indera adalah bagian-bagian tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsangan sesuai dengan modalitas masing-masing. Alat indera manusia ada 5, yakni mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit. Mata dan telinga dianggap sebagai higher senses karena memberikan informasi inderawi yang lebih kaya di bandingkan hidung, lidah dan permukaan kulit (lower senses).[5][5] Khusus untuk alat indera penciuman dan pengecap, bau dan rasa tidak dapat memastikan benda yang dikecap maupun yang diciumnya.[6][6]
Berikut alat-alat indera pada manusia beserta penjelasannya.
1.        Mata
Mata adalah alat indera yang indera yang digunakan untuk indera pengelihatan. Pada mata terdapar dua saraf, yaitu conus (berbentuk kerucut) dan bacillus (berbentuk batang). Keduanya saraf ini pekak terhadap cahaya dan terletak pada retina mata, perbedaan hanya pada penerimaannya. Bacillus sangat sensitif , sedang conus kurang sensitif. Bacillus peka terhadap cahaya remang-remang, sedang conus peka terhadap cahaya yang kuat (conus membutuhkan intensitas 1000 kali lebih kuat dari rangsangan yang diterima bacillus).
Dalam penginderaan warna ada dua sistem, yaitu sistem akromatis (hitam putih) dan kromatis (berwarna). Kromatis mengenal 4 warna dasar, yaitu: merah, kuning, hijau, dan biru. Sedang akromatis mengenal perbedaan 3 sistem sebagai pembeda sepasang warna (trikromat), ketiga sitem tersebut ialah sistem terang-gelap, sistem kuning-biru. Sistem merah-hijau.
2.        Telinga
Telinga adalah alat indera yang digunakan untuk indera pendengaran. Telinga dengan segala perlengkapan didalamnya, terutama gendang telinga (memeran timpani) denngan saraf-saraf reseptor getaran telinga bagian dalam (cochlea). Rangsangan yang sesuai untuk indera ini adalah getaran-getaran undara, perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Bila getaran-getaran tersebut teratur dan periodik, maka akan terdengar nada. Tetapi, jika getaran-getaran tersebut tidak teratur akan terjadi desah.
3.        Hidung
Hidung adalah alat indera yang digunakan untuk indera penciuman. Hidung dan saraf-saraf reseptornya. Rangsang yang sesuai untuk indera ini adalah zat-zat kimiawi yang berbentuk gas.

4.        Lidah
Lidah adalah alat indera yang digunakan untuk indera pengecap. Lidah dengan saraf-saraf reseptor pada papila-papila rasa diatas dan disekeliling lidah. Rangsangan yang sesuai denagn indera indera ini adalah cairan kimiawi.

5.        Kulit
Kulit adalah alat indera yang digunakan untuk indera perasa/peraba. Alat-alat indera tidak terbatas pada permukaan kulit pada reseptor-reseptornya, tetapi juga menyangkut alat-alat yang peka terhadap orientasi dan keseimbangan. Oleh karena itu, rangsangan yang sesuai untuk indera ini juga bermacam-macam. Kulit berfungsi memberikan informasi tentang kualitas lingkungan. Oleh karena itu, kulit mempunyai berbagai reseptor yang terdapat pada titik-titik permukaan kulit, yaitu titik-titik tekanan, nyeri, panas, dingin.[7][7]
D.     KETERBATASAN ALAT INDERA
1.        Alat pengelihatan
Banyak benda yang bergerak dengan cepat sehingga tak tampak jelas oleh mata. Mata tak dapat membedakan 10 gambar dalam satu detik jika ukuran partikel terlalu kecil. Demikian juga, jika benda yang dilihat terlalu jauh, mata tak mampu melihatnya.
2.        Alat pendengaran
Pendengaran manusia terbatas pada getaran yang mempunyai frekuensi dari 30 sampai 30.000 per detik. Getaran dibawah 30 atau di atas 30.000 per detik tak dapat terdengar oleh telinga manusia. Telinga manusia hanya dapat mengenali sejumlah suara terbatas yang timbul secara serentak (simultan).
3.        Alat pengecap
Manusia hanya dapat membedakan 4 jenis rasa, yaitu manis, asam, asin, dan pahit. Indera ini sangat berkaitan dengan indera penciuman. Orang yang penciuman tidak berfungsi (anosmia), sering kali merasakan masakan yang ia makan hambar.[8][8]
4.        Alat Penciuman
Bau seperti parfum dan lainnya dapat tercium oleh hidung kita bila konsentrasinya di udara lebih dari sepersepuluh juta bagian. Melalui bau, manusia dapat membedakan satu benda dengan benda lainnya.
5.        Alat perasa
Alat perasa pada pada kulit manusia dapat membedakan panas atau dingin. Namun, ini sangat relatif sehingga tidak dapat dipakai sebagai alat obseervasi yang tepat. Manusia juga memiliki penginderaan dalam (deep sensibility) misal penginderaan otot dan sendi maupun penginderaan statis dan keseimbangan. Manusia mempunyai perbedaan yang sangat besar dalam memperkirakan berat, jarak dan arah antara satu dengan yang lain.[9][9]
E.     KESIMPULAN DAN PENUTUP
Keterbatasan indera manusia adalah kemampuan alat indera manusia dalam menerima informasi dari suatu objek. Apabila kemampuan indera manusia tidak terbatas, tentu akan mengganggu aktifitqas keseharian dari mnusia. Kemampuan indera masing-masing manusia itu menyebabkan perbedaan persepsi, yang dimana persepsi itu ialah pemikiran yang diungkapkan tentang pengalaman terhadap suatu benda ataupun suatu kejadian yang dialami, seperti mengatakan bahwa jika pelangi muncul maka itu adalah selendang bidadari, itu adalah mitos yang disebabkan oleh keterbatasan indera mausia dan juga belum adanya pengetahuan tetang benda tersebut.












DAYA DUKUNG LINGKUNGAN



DAYA DUKUNG LINGKUNGAN

Menurut UU.No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain
Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya
Pengertian (Konsep) dan Ruang Lingkup Daya Dukung Lingkungan Menurut UU no 23/ 1997, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Menurut Soemarwoto (2001), daya dukung lingkungan pada hakekatnya adalah daya dukung lingkungan alamiah, yaitu berdasarkan biomas tumbuhan dan hewan yang dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu di daerah itu. Menurut Khanna (1999), daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).
Sedangkan menurut Lenzen (2003), kebutuhan hidup manusia dari lingkungan dapat dinyatakan dalam luas area yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia. Luas area untuk mendukung kehidupan manusia ini disebut jejak ekologi (ecological footprint). Lenzen juga menjelaskan bahwa untuk mengetahui tingkat keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan, kebutuhan hidup manusia kemudian dibandingkan dengan luas aktual lahan produktif. Perbandingan antara jejak ekologi dengan luas aktual lahan produktif ini kemudian dihitung sebagai perbandingan antara lahan tersedia dan lahan yang dibutuhkan. Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan.
Definisi Daya Dukung Lingkungan/ Carrying Capacity :
  • Jumlah organisme atau spesies khusus secara maksimum dan seimbang yang dapat didukung oleh suatu lingkungan
  • Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut
  • Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam periode jangka panjang tampa membahayakan lingkungan tersebut
  • Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut
  • Rata-rata kepadatan suatu populasi atau ukuran populasi dari suatu kelompok manusia dibawah angka yang diperkirakan akan meningkat, dan diatas angka yang diperkirakan untuk menurun disebabkan oleh kekurangan sumber daya. Kapasitas pembawa akan berbeda untuk tiap kelompok manusia dalam sebuah lingkungan tempat tinggal, disebabkan oleh jenis makanan, tempat tinggal, dan kondisi sosial dari masing-masing lingkungan tempat tinggal tersebut
Permasalahan mengenai lingkungan yang kerap ditemui dalam kaitannya dengan bidang penataan ruang antara lain dapat ditemukan dalam contoh kasus sebagai berikut:
  1. Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian seperti industri, permukiman, prasarana umum, dan lain sebagainya. Secara keseluruhan, alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya (pertanian, industri, permukiman, dan sebagainya) mencapai 50.000 ha/ tahun.
  2. Penurunan secara signifikan luas hutan tropis sebagai kawasan resapan air. Pengurangan ini terjadi baik akibat kebakaran maupun akibat penjarahan/ penggundulan. Apabila tidak diambil langkah-langkah tepat maka kerusakan hutan akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu-hilir, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir, mengganggu siklus hidrologis, dan memperluas kelangkaan air bersih dalam jangka panjang.
  3. Meningkatnya satuan wilayah sungai (SWS) yang kritis. Pada tahun 1984, tercatat dari total 89 SWS yang ada di Indonesia, 22 SWS berada dalam kondisi kritis. Kondisi ini terus memburuk dimana pada tahun 1992 jumlah SWS yang kritis meningkat menjadi 39 SWS dan pada tahun 1998 membengkak menjadi 59 SWS.
Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 [UU 26/2007]. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/ 2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Definisi KLHS yang secara umum dirujuk oleh sebagian besar pengguna KLHS adalah sebagai berikut:
“Suatu proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak lingkungan, pertimbangan sosial dan ekonomi, serta prospek keberlanjutan dari usulan kebijakan, rencana, atau program pembangunan.”
Operasionalisasi dari definisi tersebut dalam konteks pemanfaatannya bagi perumusan kebijakan pembangunan adalah
  • Apapun definisi KLHS yang akan dikonstruksikan, definisi tersebut tidak harus eksklusif, tidak harus menjadi rujukan tunggal, dan tidak harus menegaskan definisi lain yang kemungkinan akan timbul dan dikonstruksikan oleh para akademisi, praktisi, atau institusi tertentu.
  • Definisi KLHS setidaknya perlu mengandung 4 komponen:
    1. Diselenggarakan pada tahap awal perumusan kebijakan, rencana, dan program (KRP)
    2. Menelaah dampak lingkungan dari KRP
    3. Mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi
    4. Mempertimbangkan aspek keberlanjutan
Tujuan KLHS pada umumnya mencakup hal-hal sebagai berikut (modifikasi terhadap UNEP 2002:496; Partidário 2007: 12):
  1. Memberi kontribusi terhadap proses pengambilan keputusan agar keputusan yang diambil berorientasi pada keberlanjutan dan lingkungan hidup melalui tahapan sebagai berikut:
    • Mengidentifikasi efek atau pengaruh lingkungan yang akan timbul
    • Mempertimbangkan alternatif-alternatif yang ada, termasuk pilihan mengenai praktek-praktek pengelolaan lingkungan hidup yang baik
    • Antisipasi dan pencegahan terhadap dampak lingkungan pada sumber persoalan
    • Peringatan dini atas dampak kumulatif dan resiko global yang akan muncul
    • Aplikasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
    • Hasil dari berbagai kontribusi KLHS tersebut adalah meningkatnya mutu kebijakan, rencana dan program (KRP) yang dihasilkan
  2. Memperkuat dan memfasilitasi AMDAL, melalui:
    • Identifikasi sejak dini lingkup dan dampak potensial serta kebutuhan informasi
    • Identifikasi isu-isu dan pandangan-pandangan strategis yang berkaitan dengan justifikasi proyek atau rencana usaha/ kegiatan
    • Penghematan tenaga dan waktu yang dicurahkan untuk kajian
  3. Mendorong pendekatan atau cara baru untuk pengambilan keputusan, melalui:
    • Integrasi pertimbangan lingkungan dan penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam proses pengambilan keputusan
    • Dialog dan diskusi dengan para pihak yang berkepentingan dan penyelenggaraan konsultasi publik
    • Akuntabilitas dan transparansi dalam merancang, memformulasikan dan memutuskan kebijakan, rencana dan program
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari KLHS adalah (Fischer 1999; UNEP 2002):
  1. Merupakan instrumen proaktif dan sarana pengambilan keputusan
  2. Mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang- peluang baru melalui pengkajian secara sistematis dan cermat atas opsi-opsi pembangunan yang tersedia
  3. Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi
  4. Mencegah kesalahan investasi dengan mengingatkan pengambil keputusan akan adanya peluang pembangunan yang tidak berkelanjutan sejak tahap awal proses pengambilan keputusan
  5. Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat terbangunnya keterlibatan para pihak (stakeholders) dalam proses pengambilan keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi
  6. Melindungi aset-aset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjamin berlangsungnya menjamin berlangsungnya pembangunan berkelanjutan
  7. Memfasilitasi kerjasama lintas batas untuk mencegah konflik, berbagi pemanfaatan sumberdaya alam, dan menangani masalah kumulatif dampak lingkungan.


Adapun nilai-nilai yang dianggap penting dalam aplikasi KLHS di Indonesia adalah:
• Keterkaitan (interdependency)
• Keseimbangan (equilibrium)
• Keadilan (justice)
Keterkaitan (interdependencies) digunakan sebagai nilai penting dalam KLHS dengan maksud agar dalam penyelenggaraan KLHS mempertimbangkan keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lain, antara satu unsur dengan unsur lain, atau antara satu variabel biofisik dengan variabel biologi, atau keterkaitan antara lokal dan global, keterkaitan antar sektor, antar daerah, dan seterusnya. Dengan membangun pertautan tersebut maka KLHS dapat diselenggarakan secara komprehensif atau holistik.
Keseimbangan (equilibrium) digunakan sebagai nilai penting dalam KLHS dengan maksud agar penyelenggaraan KLHS senantiasa dijiwai atau dipandu oleh nilai-nilai keseimbangan seperti keseimbangan antara kepentingan sosial ekonomi dengan kepentingan lingkungan hidup, keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang, keseimbangan kepentingan pembangunan pusat dan daerah, dan lain sebagainya. Implikasinya, forum-forum untuk identifikasi dan pemetaan kedalaman kepentingan para pihak menjadi salah satu proses dan metode yang penting digunakan dalam KLHS.
Keadilan (justice) digunakan sebagai nilai penting dengan maksud agar melalui KLHS dapat dihasilkan kebijakan, rencana dan program yang tidak mengakibatkan marginalisasi sekelompok atau golongan masyarakat tertentu karena adanya pembatasan akses dan kontrol terhadap sumber- sumber alam atau modal atau pengetahuan.
Dengan mengaplikasikan nilai keterkaitan dalam KLHS diharapkan dapat dihasilkan kebijakan, rencana atau program yang mempertimbangkan keterkaitan antar sektor, wilayah, dan global-lokal. Pada aras yang lebih mikro, yakni proses KLHS, keterkaitan juga mengandung makna dihasilkannya KLHS yang bersifat holistik berkat adanya keterkaitan analisis antar komponen fisik-kimia, biologi dan sosial ekonomi.
KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP].
Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas. Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya. Selain itu KLHS menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region” dan/atau “bio-geo-region”).
Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu KLHS yang bersifat
  • instrumental,
  • transformatif,dan
  • substantif
Tipologi ini membantu membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya, baik dari sudut langkah-langkah prosedural maupun teknik dan metodologinya.
Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada 4 (empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :
  1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe). KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup. Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.
  2. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Hidup (Environmental Appraisal) : KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang aspek lingkungan hidup.
  3. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated Assessment Sustainability Appraisal) KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara terpadu.
  4. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Alam (Sustainable Natural Resource Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource Management) KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dengan fungsinya sebagai berikut:, a) dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya alam. Model a) menekankan pertimbangan pertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi RTRW, sementara model b)menekankan penegasan fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan cadangan sumberdaya alam.

KLHS dalam kategori ini memiliki dua model, yaitu:
  1. Model a) menekankan pertimbangan pertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi RTRW
  2. Model b) menekankan penegasan fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan cadangan sumberdaya alam

Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk kombinasi, sesuai dengan : hirarki dan jenis RTRW yang akan dihasilkan/ditelaah, lingkup isu mengenai sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjadi fokus, konteks kerangka hukum RTRW yang dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya manusia aparatur pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat kemauan politis atas manfaat KLHS terhadap RTRW.
Pasal 3
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang

Pasal 5
(1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan.
(2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya.
(3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional,

Pasal 17
(5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.
(6) Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan.

Penjelasan Pasal 5 Ayat (5)
Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, antara lain, adalah kawasan pelindungan dan pelestarian lingkungan hidup, termasuk kawasan yang diakui sebagai warisan dunia seperti Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Ujung Kulon, dan Taman Nasional Komodo.