DAYA DUKUNG
LINGKUNGAN
Menurut UU.No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain
Daya Dukung
Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya
Pengertian
(Konsep) dan Ruang Lingkup Daya Dukung Lingkungan Menurut UU no 23/ 1997, daya
dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Menurut Soemarwoto (2001), daya
dukung lingkungan pada hakekatnya adalah daya dukung lingkungan alamiah, yaitu
berdasarkan biomas tumbuhan dan hewan yang dapat dikumpulkan dan ditangkap per
satuan luas dan waktu di daerah itu. Menurut Khanna (1999), daya dukung
lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan
(supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).
Sedangkan
menurut Lenzen (2003), kebutuhan hidup manusia dari lingkungan dapat dinyatakan
dalam luas area yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia. Luas area
untuk mendukung kehidupan manusia ini disebut jejak ekologi (ecological
footprint). Lenzen juga menjelaskan bahwa untuk mengetahui tingkat
keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan, kebutuhan hidup manusia kemudian
dibandingkan dengan luas aktual lahan produktif. Perbandingan antara jejak
ekologi dengan luas aktual lahan produktif ini kemudian dihitung sebagai
perbandingan antara lahan tersedia dan lahan yang dibutuhkan. Carrying capacity
atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam
menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang
panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan
memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang
mendiami suatu kawasan.
Definisi
Daya Dukung Lingkungan/ Carrying Capacity :
- Jumlah organisme atau spesies khusus secara
maksimum dan seimbang yang dapat didukung oleh suatu lingkungan
- Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh
suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut
- Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada
suatu lingkungan dalam periode jangka panjang tampa membahayakan
lingkungan tersebut
- Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus
yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan
tersebut
- Rata-rata kepadatan suatu populasi atau ukuran
populasi dari suatu kelompok manusia dibawah angka yang diperkirakan akan
meningkat, dan diatas angka yang diperkirakan untuk menurun disebabkan
oleh kekurangan sumber daya. Kapasitas pembawa akan berbeda untuk tiap
kelompok manusia dalam sebuah lingkungan tempat tinggal, disebabkan oleh
jenis makanan, tempat tinggal, dan kondisi sosial dari masing-masing
lingkungan tempat tinggal tersebut
Permasalahan
mengenai lingkungan yang kerap ditemui dalam kaitannya dengan bidang penataan
ruang antara lain dapat ditemukan dalam contoh kasus sebagai berikut:
- Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi
lahan non pertanian seperti industri, permukiman, prasarana umum, dan lain
sebagainya. Secara keseluruhan, alih fungsi lahan dari kawasan lindung
menjadi kawasan budidaya (pertanian, industri, permukiman, dan sebagainya)
mencapai 50.000 ha/ tahun.
- Penurunan secara signifikan luas hutan tropis
sebagai kawasan resapan air. Pengurangan ini terjadi baik akibat kebakaran
maupun akibat penjarahan/ penggundulan. Apabila tidak diambil
langkah-langkah tepat maka kerusakan hutan akan menyebabkan run-off yang
besar pada kawasan hulu-hilir, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir
pada wilayah hilir, mengganggu siklus hidrologis, dan memperluas
kelangkaan air bersih dalam jangka panjang.
- Meningkatnya satuan wilayah sungai (SWS) yang
kritis. Pada tahun 1984, tercatat dari total 89 SWS yang ada di Indonesia,
22 SWS berada dalam kondisi kritis. Kondisi ini terus memburuk dimana pada
tahun 1992 jumlah SWS yang kritis meningkat menjadi 39 SWS dan pada tahun
1998 membengkak menjadi 59 SWS.
Kebijakan
nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan
diundangkannya Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 [UU 26/2007]. Kebijakan
tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin
baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman,
produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya
kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan
cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah
indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pencemaran dan
kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik di kawasan
perkotaan maupun di kawasan perdesaan.
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak
ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk
dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas
pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/ 2007 menuntut proses
perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan
pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang
wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang
wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic
Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui
perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah
untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Definisi
KLHS yang secara umum dirujuk oleh sebagian besar pengguna KLHS adalah sebagai
berikut:
“Suatu
proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak lingkungan,
pertimbangan sosial dan ekonomi, serta prospek keberlanjutan dari usulan
kebijakan, rencana, atau program pembangunan.”
Operasionalisasi
dari definisi tersebut dalam konteks pemanfaatannya bagi perumusan kebijakan
pembangunan adalah
- Apapun definisi KLHS yang akan dikonstruksikan,
definisi tersebut tidak harus eksklusif, tidak harus menjadi rujukan
tunggal, dan tidak harus menegaskan definisi lain yang kemungkinan akan
timbul dan dikonstruksikan oleh para akademisi, praktisi, atau institusi
tertentu.
- Definisi KLHS setidaknya perlu mengandung 4
komponen:
- Diselenggarakan pada tahap awal perumusan
kebijakan, rencana, dan program (KRP)
- Menelaah dampak lingkungan dari KRP
- Mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi
- Mempertimbangkan aspek keberlanjutan
Tujuan KLHS
pada umumnya mencakup hal-hal sebagai berikut (modifikasi terhadap UNEP
2002:496; Partidário 2007: 12):
- Memberi kontribusi terhadap proses pengambilan
keputusan agar keputusan yang diambil berorientasi pada keberlanjutan dan
lingkungan hidup melalui tahapan sebagai berikut:
- Mengidentifikasi efek atau pengaruh lingkungan
yang akan timbul
- Mempertimbangkan alternatif-alternatif yang ada,
termasuk pilihan mengenai praktek-praktek pengelolaan lingkungan hidup
yang baik
- Antisipasi dan pencegahan terhadap dampak
lingkungan pada sumber persoalan
- Peringatan dini atas dampak kumulatif dan resiko
global yang akan muncul
- Aplikasi prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan
- Hasil dari berbagai kontribusi KLHS tersebut
adalah meningkatnya mutu kebijakan, rencana dan program (KRP) yang
dihasilkan
- Memperkuat dan memfasilitasi AMDAL, melalui:
- Identifikasi sejak dini lingkup dan dampak
potensial serta kebutuhan informasi
- Identifikasi isu-isu dan pandangan-pandangan
strategis yang berkaitan dengan justifikasi proyek atau rencana usaha/
kegiatan
- Penghematan tenaga dan waktu yang dicurahkan
untuk kajian
- Mendorong pendekatan atau cara baru untuk
pengambilan keputusan, melalui:
- Integrasi pertimbangan lingkungan dan penerapan
prinsip-prinsip keberlanjutan dalam proses pengambilan keputusan
- Dialog dan diskusi dengan para pihak yang
berkepentingan dan penyelenggaraan konsultasi publik
- Akuntabilitas dan transparansi dalam merancang,
memformulasikan dan memutuskan kebijakan, rencana dan program
Adapun
manfaat yang dapat dipetik dari KLHS adalah (Fischer 1999; UNEP 2002):
- Merupakan instrumen proaktif dan sarana
pengambilan keputusan
- Mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang-
peluang baru melalui pengkajian secara sistematis dan cermat atas
opsi-opsi pembangunan yang tersedia
- Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara
lebih sistematis pada jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi
- Mencegah kesalahan investasi dengan mengingatkan
pengambil keputusan akan adanya peluang pembangunan yang tidak
berkelanjutan sejak tahap awal proses pengambilan keputusan
- Tata pengaturan (governance) yang lebih baik
berkat terbangunnya keterlibatan para pihak (stakeholders) dalam proses
pengambilan keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi
- Melindungi aset-aset sumberdaya alam dan
lingkungan hidup guna menjamin berlangsungnya menjamin berlangsungnya
pembangunan berkelanjutan
- Memfasilitasi kerjasama lintas batas untuk
mencegah konflik, berbagi pemanfaatan sumberdaya alam, dan menangani
masalah kumulatif dampak lingkungan.
Adapun nilai-nilai yang dianggap penting dalam aplikasi KLHS di Indonesia
adalah:
• Keterkaitan (interdependency)
• Keseimbangan (equilibrium)
• Keadilan (justice)
Keterkaitan
(interdependencies) digunakan sebagai nilai penting dalam KLHS dengan
maksud agar dalam penyelenggaraan KLHS mempertimbangkan keterkaitan antara satu
komponen dengan komponen lain, antara satu unsur dengan unsur lain, atau antara
satu variabel biofisik dengan variabel biologi, atau keterkaitan antara lokal
dan global, keterkaitan antar sektor, antar daerah, dan seterusnya. Dengan
membangun pertautan tersebut maka KLHS dapat diselenggarakan secara
komprehensif atau holistik.
Keseimbangan
(equilibrium) digunakan sebagai nilai penting dalam KLHS dengan maksud
agar penyelenggaraan KLHS senantiasa dijiwai atau dipandu oleh nilai-nilai
keseimbangan seperti keseimbangan antara kepentingan sosial ekonomi dengan
kepentingan lingkungan hidup, keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan
jangka panjang, keseimbangan kepentingan pembangunan pusat dan daerah, dan lain
sebagainya. Implikasinya, forum-forum untuk identifikasi dan pemetaan kedalaman
kepentingan para pihak menjadi salah satu proses dan metode yang penting
digunakan dalam KLHS.
Keadilan (justice)
digunakan sebagai nilai penting dengan maksud agar melalui KLHS dapat
dihasilkan kebijakan, rencana dan program yang tidak mengakibatkan
marginalisasi sekelompok atau golongan masyarakat tertentu karena adanya
pembatasan akses dan kontrol terhadap sumber- sumber alam atau modal atau
pengetahuan.
Dengan
mengaplikasikan nilai keterkaitan dalam KLHS diharapkan dapat dihasilkan
kebijakan, rencana atau program yang mempertimbangkan keterkaitan antar sektor,
wilayah, dan global-lokal. Pada aras yang lebih mikro, yakni proses KLHS,
keterkaitan juga mengandung makna dihasilkannya KLHS yang bersifat holistik
berkat adanya keterkaitan analisis antar komponen fisik-kimia, biologi dan
sosial ekonomi.
KLHS adalah
sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin
tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan
dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP].
Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada
mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan
tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki
rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa
memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai
instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari
penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas.
Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan
efektivitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan
atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya. Selain itu KLHS menciptakan tata
pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku
kepentingan yang strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah
administrasi, serta memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan
wilayah (kerap juga disebut “bio-region” dan/atau “bio-geo-region”).
Sifat
pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu KLHS yang bersifat
- instrumental,
- transformatif,dan
- substantif
Tipologi ini
membantu membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap
berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya, baik dari sudut
langkah-langkah prosedural maupun teknik dan metodologinya.
Pendekatan
KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja dan metodologi
berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada 4 (empat) model
pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :
- KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe). KLHS dilaksanakan
menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek dan dampak yang ditimbulkan
RTRW terhadap lingkungan hidup. Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan
tekanan analisis telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.
- KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan
Lingkungan Hidup (Environmental Appraisal) : KLHS ditempatkan
sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP RTRW menjamin
pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai
sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang aspek lingkungan
hidup.
- KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan
(Integrated Assessment Sustainability Appraisal) KLHS diterapkan
sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan secara holistik,
sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan aspek sosial,
ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS kemudian lebih
ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang menilai atau
menganalisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara terpadu.
- KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan
Sumberdaya Alam (Sustainable Natural Resource Management) atau Pengelolaan
Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource Management) KLHS
diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dengan fungsinya
sebagai berikut:, a) dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari
hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau b)
sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya alam. Model
a) menekankan pertimbangan pertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai
dasar dari substansi RTRW, sementara model b)menekankan penegasan fungsi
RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan cadangan sumberdaya
alam.
KLHS dalam
kategori ini memiliki dua model, yaitu:
- Model a) menekankan pertimbangan pertimbangan
kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi RTRW
- Model b) menekankan penegasan fungsi RTRW sebagai
acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan cadangan sumberdaya alam
Aplikasi-aplikasi
pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk kombinasi, sesuai dengan :
hirarki dan jenis RTRW yang akan dihasilkan/ditelaah, lingkup isu mengenai
sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjadi fokus, konteks kerangka hukum
RTRW yang dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya manusia
aparatur pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat kemauan
politis atas manfaat KLHS terhadap RTRW.
Pasal 3
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang
Pasal 5
(1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem
internal perkotaan.
(2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan
lindung dan kawasan budi daya.
(3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan
ruang wilayah nasional,
Pasal 17
(5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30
(tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.
(6) Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antarwilayah,
antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan.
Penjelasan Pasal 5 Ayat (5)
Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup, antara lain, adalah kawasan pelindungan dan pelestarian
lingkungan hidup, termasuk kawasan yang diakui sebagai warisan dunia seperti
Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Ujung Kulon, dan Taman Nasional Komodo.